Close

Ibu Ojek Online Jadi Perintis Kampung Literasi Digital

Di tengah deru kendaraan dan debu jalan raya, ada sebuah gubuk tambal ban di sudut Pasar Wage, Purwokerto. Di dalamnya, duduk seorang pria tua berkaos lusuh, tangan penuh bekas luka, dan mata yang tajam namun bersahabat. mg4d Namanya Sarto, 62 tahun, tukang tambal ban yang telah 35 tahun hidup dari menambal kebocoran—bukan hanya ban, tetapi juga mimpi anak-anak putus sekolah.

Mengharukan: Lelah yang Tak Diketahui Dunia

Setiap pagi pukul 6, Pak Sarto sudah duduk di bangkunya yang reyot, menunggu kendaraan yang bocor melintas. Pendapatannya tak menentu. Kadang hanya cukup untuk makan, kadang tak cukup bahkan untuk beli tambalan. Tapi hidup tetap dijalani, dengan keikhlasan yang luar biasa.

Namun siapa sangka, di balik kehidupannya yang sederhana itu, Pak Sarto punya misi besar. Sejak 2005, ia mulai mengumpulkan anak-anak jalanan, pemulung kecil, dan anak putus sekolah di sekitar pasar. Setiap sore, di sela pekerjaannya, ia mengajari mereka membaca, berhitung, bahkan membuat kerajinan tangan dari limbah ban bekas.

“Biarpun saya cuma tukang tambal ban, saya nggak mau anak-anak ini tambal masa depannya pakai pasrah,” katanya pelan.

Menggugah: Ruang Kecil, Mimpi Besar

Gubuk tambal bannya disulap menjadi ruang belajar. Papan tulis dari triplek bekas, kapur dari sisa-sisa sekolah yang sudah tutup, dan meja belajar dari ban yang ditumpuk jadi kursi. Ia menyebut tempat itu: “Kelas Tambalan Harapan”.

Awalnya hanya ada 3 anak. Tapi kabar menyebar. Sekarang, lebih dari 30 anak belajar bergiliran di sana. Ada yang belajar mengeja, ada yang diajari menjahit sepatu dari potongan ban, dan ada yang dibantu mengisi formulir untuk kejar paket.

Satu per satu anak mulai berubah. Deni, dulunya pemulung, sekarang jadi penjaga toko dan bisa membaca. Siska, dulu penjual tisu di lampu merah, kini sekolah kejar paket C dan bercita-cita jadi guru.

Pak Sarto tak dibayar. Ia tak pernah meminta sumbangan. Tapi ia rela tak makan siang demi beli kapur tulis. Ia rela tak menambal ban yang bocor demi mengajar satu anak mengenal huruf “A”.

“Saya cuma ingin anak-anak ini tahu, mereka berharga,” katanya sambil menatap tangan kotornya sendiri.

Menghebohkan: Sepatu Ban Bekas yang Viral

Suatu hari, salah satu siswanya, Ari, memamerkan sepatu buatannya yang terbuat dari potongan ban dan kain bekas. Sepatu itu unik, kuat, dan tidak kalah dari sepatu mahal. Seorang pelanggan yang sedang menambal ban memperhatikan, memotret, dan mengunggah ke media sosial.

Tak disangka, unggahan itu viral. Ribuan orang kagum. Mereka menyebutnya “sepatu pejuang”. Wartawan datang, televisi meliput, dan nama “Kelas Tambalan Harapan” mulai dikenal.

Namun Pak Sarto menolak untuk menjual sepatu itu secara massal.

“Bukan soal duitnya. Ini soal nilai. Anak-anak harus tahu bahwa mereka bisa menciptakan, bukan cuma menerima,” jelasnya.

Namun karena desakan banyak pihak, ia akhirnya membuka pelatihan kerajinan dari ban untuk anak-anak muda putus sekolah. Ia menyebut program itu “Tangan Kotor, Masa Depan Bersih”.

Dan benar saja, banyak lulusan pelatihannya kini membuka bengkel kreatif sendiri.

Menginspirasi: Saat Kasih Tak Perlu Seragam

Pak Sarto bukan guru. Ia tak punya gelar pendidikan. Tapi nilai-nilai yang ia tanamkan jauh lebih dari sekadar teori. Ia mengajarkan arti tanggung jawab, kerja keras, kejujuran, dan cinta terhadap ilmu.

Setiap anak yang datang ke kelasnya, ia peluk seakan anak kandungnya sendiri. Ia hafal nama, latar belakang, bahkan makanan kesukaan mereka.

“Pak Sarto itu seperti matahari. Kadang kita nggak sadar dia ada, tapi kita hangat karena dia,” kata Lina, salah satu muridnya.

Kini, beberapa anak didik Pak Sarto sudah kuliah lewat beasiswa, ada yang bekerja di koperasi, dan ada pula yang jadi relawan mengajar kembali di Kelas Tambalan Harapan. Semua itu bermula dari tangan seorang tukang tambal ban.

Pemerintah daerah pernah menawarkan penghargaan. Ia menerimanya, tapi tak datang ke acara. Alasannya sederhana: “Ban truk di pasar lagi ramai yang bocor. Nanti anak-anak sekolah naik apa?”

Penutup: Lelaki Tua, Cahaya yang Tak Pernah Padam

Kisah Pak Sarto adalah pengingat bahwa pendidikan bukan milik institusi besar, bukan monopoli gedung mewah atau kurikulum rumit. Ia adalah soal hati yang tulus ingin menyalakan terang, satu demi satu, dari anak-anak yang hidup dalam gelap.

Di balik tangan kasarnya, ada kelembutan yang menyentuh. Di antara ban bekas dan oli kotor, ia tanamkan masa depan bersih dan harapan baru.

Dunia mungkin akan melupakan nama Pak Sarto. Tapi di hati puluhan anak-anak, namanya akan selalu dikenang: tukang tambal ban yang menambal masa depan bangsa.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *